Cerpen

Berdiri Untuk Sujud

            Di sudutnya yang telah lapuk hanya bertengger seorang yang masih setia bertandang ke rumah Alloh itu. Kini bangunan yang didominasi oleh bambu teranyam dan kayu-kayu yang tertonggak menolak bumi semakin merana, isinya kini meradang sunyi. Bahkan kumandangnya kini meredup, tiga kali sehari bahkan terlalu banyak, cukuplah sekali sehari saat menyambut embun pagi, yah, ketika subuh, agar mereka yang ingin mengais rupiah bisa mempersiapkan segalanya lebih dini namun, kumandang itu hanya membangunkan agar mereka segera terjaga bukan sebuah ajakan untuk menarik insan di sekelilingnya beranjak sujud.
            Mereka hanya sibuk dengan urusan pasarnya yang tak kunjung habis tiap saatnya. Selalu saja ada urusan yang lebih penting daripada berdiam diri dalam rumah Alloh itu. Cukuplah sujud itu di tempat sendiri tak usah keluar, masih banyak waktu yang dapat digunakan untuk urusan yang belum selesai tentang pasar, tentang beras, tentang itik, tentang gurameh atau tentang-tentang yang lain.
            Ujudnya kini doyong hampir sujud ke bumi, namun, empat pohon kelapa yang menyangganya masih bisa mempertahankan diri demi rumah panggung di atas kolam yang semakin kerontang tak terairi.
            Padahal dulunya semua bersatu bahu menggarap rumah agar mereka bisa berkomunikasi dengan khaliqnya, empat pohon kelapa tertancap di tengah kolam yang sengaja dicipta untuk menyangga rumah Alloh.  Di atasnya, bebrapa helai bambu teranyam kemudian tertempel menjadi tembok setengah tiang mengelilngi bangunan itu. Sebenarnya bangunan itu masih terlalu kecil untuk bisa disebut sebagai Mesjid, namun, tak apalah, daripada berjalan lima kilometer hanya untuk sholat jum’at per minggunya. Itu melelahkan dan memakan waktu kalah dengan janji imbalan yang lebih banyak.
            Tahun pertama begitu hidupnya rumah sederhana namun agung itu. Lima kali seruan berkumandang perharinya. Setiap senja hamper semua bocah ruah berbondong kesana untuk menimba menghadapi hidup di masa datang. Per Jum’atnya luber oleh jamaah yang bersumber dari berbagai sudut kampung Brobahan. Sholat ‘ied, hajatan, pengajian akbar dan sebagainya, dan sebagainya yang dapat memfungsiakan rumah Alloh.
            Dan, kang Mun, adalah sosok yang kepilih untuk mengurus segala urusan yang behubungan dengan Mesjid. Dari adzan hingga menyapu debu, juga sering membantu Imam untuk mengajari bocah-bocah melafadzkan rangkaian hijaiyah. Ia adalah lulusan ponpes kampung sebelah untuk itulah segala ubarampenya Mesjid terserahkan oleh sosoknya yang kala itu masih bujang gagah baru lulus dari pesantren, masih bujang dan masih tangguh untuk menerima amanah.
            “Mun, sampean belum mau melepas lajangmu?.” Teman semasa bocahnya sekampung yang tak henti-hentinya memberondong pertanyaan setiap saatnya. Terang saja dirinya yang sudah beranak dua ingin melihat shohibnya juga segera menyusul.
            “Aku masih belum mikirke kui mas.” Sahut kang Mun datar saja.
            “Maksudmu kui belum ada niatan, atau sampean belum ada calon?, aku cariin wis.”
            “Tak usah sampean mikirke aku mas, aku bisa sendiri.”
            “Lantas, sampai kapan sampean pertahankan bujangmu kui?, semua orang sudah menggunjingimu, apakah telingamu kui nda’ panas mendengarnya?.”
            “Tahu apa mereka tentang jodohku, apakah mereka tak tahu ada urusan yang lebih penting dipikirke, ketimbang urusan jodohku yang sudah pasti di tangan Alloh.” Ditinggalnya begitu saja shohib sekampungnnya, sembari menenteng parang untuk menebang bambu buat perbaikan Mesjid juga membuat pancuran kembali agar kolam bawah Mesjid tak lagi kerontang.
            Semenjak Haji Syamsuri wafat seolah semua tak lagi ingan dengan Mesjid yang dahulu dibangun bersama-sama. Mereka anggap jika sang Imam tiada maka kegiatan Mesjidpun ditiadakan. Bukan mencari penerus tetapi mematikan tunas baru. Semua seakan acuh dengan rumah ibadah mereka itu. Mereka tak mendengar rintihan sang Mesjid yang kian menggema. Semakin sunyi seruan untuk bersujud, semakin meronta tangisan Mesjid bamboo.
            Kini kang Mun bertekad, bukan untuk segera melepas masa lajangnya tapi untuk melepas derita Mesjid bambu. Agar Brobahan kembali hidup, hidup yang sejatinya. Agar bocah-bocah tetap bisa mengais bekal kehidupannya, dan tentunya agar Jum’atan bisa lebih dekat karena tak perlu bertandang ke kampung seberang kali yang berjarak lima kilometer. Yah, semenjak Mesjid bambu doyong, jamaah tak lagi memenuhi syarat utuh Jum’at, maksimal  hanya duapuluh kepala, dan ini tidaklah cukup, hanya setengah dari syarat itu.
            Subuh, kembali hanya bertengger seorang di sudut Mesjid bamboo. Tak ada yang lain. Kang Mun hanya sebatang kara, tak ada sanak yang bisa diajak untuk bersama di sana. Setelah cahaya pagi menyelusup di setiap sela bambu dan membentuk lingkaran di lantai kayu. Kang Mun beranjak untuk mengolah kayu yang telah ia bawa kemarin.
            Pertama, sisi-sisi yang doyong kini ditegakan. Dan bagian depan yang telihat mengelupas segera terbaharui. Tinggal tembok bambu yang lapuk diganti dengan anyaman yang baru. Hari ini hanya bisa ke perbaikan dinding yang menganga.
            Subuh kedua, kembali di sudut Mesjid. Sosok itu menunggu bulatan cahaya yang terbentuk di lantai kayu sembari hatinya berdesir dengan asma-Nya. Hari ini kolam kerontang adalah urusannya, bambu dipasangnya bersambung-sambung sampai sungai untuk mengalirkan airnya, hingga mentari membuat siluet di barat baru bisa ada genangan dalam kolam bawah Mesjid bambu. Kang Mun beranjak ke peraduan.
Subuh ketiga, urusan terberat, atap kang Mun berusaha mendekati rumah yang kini tegap itu kemudian genteng retak atau berlubang diganti dengan dengan genteng baru, bukan baru membeli baru untuk dipasang hasil pintanya dari pesantren tempat dulunya ia membentuk diri. Daun-daun juga berserakan dan terjepit di sela genteng tua. Segera ia sisihkan agar tak membuat tetesan air kala gerimis lebat. Dan selesailah sudah atap itu bersamaan dengan menyusutnya ufuk barat yang merona merah keemasan.
Semua sudah siap untuk hari ini, Jum’at. Semua warga tak perlu lagi menyeberang ke sebelah kampung. Di sini telah tersedia fasilitas yang memadai untuk mereka. Bahkan untuk itu kang Mun telah mendatangkan Imam dan Khotib langsung dari pesantrennya dulu, untuk kampungnya, hingga tepat pukul 12.00 belum terisi penuh Mesjid itu, hanya sembilan belas, tak tambah malah menyusut, sedangkan bocah-bocah yang bersemangat itu tak masuk hitungan, semua jamaah terbengong apalagi kang Mun, untuk mengurangi rasa tidak enak dengan Imam berkali-kali ia menengok kanan, kiri, belakang untuk menghitung dan mengitung. Sang Imam kemudian menyuruh kang Mun untuk tenang dan tetap melaksanakan Jum’atan dengan jamaah seadanya, dengan mengikuti madzhab yang lain, lebih dari tujuh orang.
“Ini adalah darurat Mun, tak mungkin kita menyeberang, sedangkan hari telah siang, pasti telat kita.” Kata sang Imam seusai jamaah Jum’at sambil bersanding denga kang Mun di serambi Mesjid, di depannya ikan-ikan dalam kolam berlarian berebut daun singkong, sangat riuh mereka.
“pak, bagaiman seterusnya, saya tak mungkin menyuruh pak ustadz untuk menetap di sini, sedangkan kondisi ini tak bisa membuat Bapak layak di sini.”
“Tenang wae Mun, saya akan tetap membantu, meski tak harus tinggal di sini karena ada adik-adik sampean yang sedang mencari bekal seperti sampean dulu. Ini pasti akan berlalu kalau sampean tetap istiqomah. Ajaklah bocah-bocah itu untuk jamaah lima waktu, terutama yang sudah dikira baligh, agar sampean tak sendiri setiap harinya di sini.”
Subuh kembali sunyi, bocah-bocah masih kurang mampu untuk melawan kasur empuknya hanya untuk berjamaah. Mereka hanya bisa berjamaah jika siang sampai maghrib dan isya. Meski sendiri berselimut sepi tak mengurungkan tekad istiqomahnya yang kelewat membara. Bahkan ia untuk melepas malam di sini, di rumah tak ada arti, karena tak ada yang harus ditemani. Sedang di sini bisa selalu berteman dengan ayat-Nya, dengan asma-Nya, dengan-Nya juga. Sangat nyaman untuk sekedar bertemu dengan-Nya.
Tanpa tersadari kang Mun mendengar derit-derit kayu di atas yang semakin menjeit kemudian puluhan genteng meluncur ke bawah setelah kayu penyangganya patah habis termakan rayap dan usia. Rupanya kang Mun lupa dengan emapat pohon kelapanya yang sudah rapuh. Seketika kedua bibir kang Mun menyeru asma-Nya berlanjut gelap yang hanya didapatinya. Batang kelapa sang pilar doyong dan terus bersujud  ke kiblat  yang akhirnya berkecipak menghujam genangan dalam kolam. Bresss, rata semua, tinggal puing yang mengapung di atas kolam. Selesailah sudah riwayat kang Mun dan Mesjid bambu.

COI ketika sendiri 11.30-1’5’08 (BANU)
(Pernah dimuat dalam Majalah Kakilangit, PP. Langitan - Jawa Timur)

1 komentar:

Beri Saya Masukan :